(Ustadz Abu Abdirrahman Abdullah حفظه الله)
Sebagian orang merasa bangga sebagai keturunan nabi, akan tetapi akidah, ibadah dan akhlak mereka rusak dan jauh dari tuntunan Nabi shalallahu alaihi wasallam. Bangga sebagai murid atau pengikut ulama, tapi tidak mengikuti bimbingan mereka
Maka Allah patahkan kebanggaan mereka dengan firman-nya:
تِلْكَ أُمَّةٌ قَدْ خَلَتْ ۖ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَلَكُم مَّا كَسَبْتُمْ ۖ وَلَا تُسْأَلُونَ عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُون
“Itu adalah umat yang lalu; baginya apa yang telah diusahakannya dan bagimu apa yang sudah kamu usahakan, dan kamu tidak akan diminta pertanggungan jawab tentang apa yang telah mereka kerjakan.” (Al Baqarah 134)
Berkata Asy Syaikh Al Fauzan hafidzahullah: “Seseorang diperhitungkan atas amalannya sendiri, bukan amalan yang dilakukan orang lain. Para Nabi alaihimus shalatu wassalam mereka adalah makhluk yang paling utama, tetapi hal tersebut tidak bermanfaat bagi keturunannya jika mereka tidak mau mengikuti para nabi tersebut. Maka amalan para nabi bermaanfaat bagi mereka sendiri, dan amalan kalian bermanfaat bagi kalian sendiri. Ini juga berlaku bagi orang yang berbangga dengan amalan bapak dan kakek moyang mereka, dan bahwasanya mereka adalah orang-orang shaleh, orang-orang berilmu, kemudian menyangka hal tersebut telah mencukupi dirinya untuk melakukan amalan shaleh. Demikian juga orang yang menisbahkan dirinya sebagai ahlul bait, dia menyangka nasabnya telah menjadi pencukup baginya untuk melakukan amalan Sholeh” (Syarh Masail Jahiliyyah, masalah yang ke- 97).
Jadi, hanya Rahmat Allah kemudian amalan shaleh yang kamu kerjakan, yang akan bermanfaat kepadamu. Allahu A’lam bi shawab