KAPAN DIMULAINYA PUASA DIBULAN ROMADHON?

oleh -203 Dilihat
oleh

Berkata Abu Najaa Musa bin Ahmad rahimahullah dalam kitabnya [Zaadul Mustaqni’] : “Puasa Ramadan wajib dengan melihat hilal-nya. Jika hilal tidak terlihat saat langit cerah pada malam ke-30 (Syaban), maka keesokan harinya mereka tidak berpuasa. Namun, jika hilal terhalang oleh awan atau debu, maka menurut pendapat yang kuat dalam mazhab, puasa wajib dilakukan.”

Berkata syekh Utsaimin rahimahullah dalam syarhnya, “Ucapan beliau: ‘Puasa Ramadan wajib dengan melihat hilal-nya.’ kalimat ini bukan untuk menjelaskan kewajiban puasa itu sendiri, karena hal tersebut sudah diketahui secara pasti. Namun, tujuannya adalah menjelaskan kapan puasa itu menjadi wajib. Disebutkan bahwa puasa menjadi wajib karena dua sebab:

1.Melihat hilal-nya (hilal Ramadhan):

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

(فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ)

(Barang siapa di antara kalian yang menyaksikan bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa) [QS. Al-Baqarah: 185].

Juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Jika kalian melihatnya, maka berpuasalah.”

Dari sini dipahami bahwa puasa tidak wajib berdasarkan perhitungan (hisab). Jika ahli hisab yang mengikuti peredaran bulan menetapkan bahwa malam tersebut adalah malam Ramadan, namun hilal tidak terlihat, maka puasa tidak dilakukan. Sebab, syariat menggantungkan hukum ini pada sesuatu yang nyata, yaitu melihat hilal.

Sebagian ulama belakangan berpendapat bahwa wajib mengikuti perhitungan jika melihat hilal tidak memungkinkan. Pendapat ini didasarkan pada hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Jika hilal tertutup oleh awan, maka perkirakanlah.’ Mereka memahami ‘perkirakanlah’ berarti memperkirakan dengan hisab. Namun, pendapat yang lebih benar adalah bahwa maksud ‘perkirakanlah’ telah dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu menyempurnakan bulan Syaban menjadi 30 hari.

Ucapannya ‘dengan melihat hilal-nya’ mencakup makna yang umum baik melihat dengan mata telanjang atau menggunakan alat bantu, karena keduanya tetap dianggap sebagai melihat.

2. Menyempurnakan bulan Syaban menjadi 30 hari, Karena bulan Qamariyah (bulan berdasarkan peredaran bulan) tidak bisa lebih dari 30 hari dan tidak kurang dari 29 hari. Menurut mazhab, ada sebab ketiga, yaitu jika hilal terhalang oleh awan atau debu, yang akan dijelaskan lebih lanjut.

Ucapan: ‘Jikat hilal tidak terlihat saat langit cerah pada malam ke-30, maka esok paginya mereka menjadi belum berpuasa,’ maksudnya adalah hari ke-30 bulan Sya’ban. Jika hilal tidak terlihat saat langit cerah, yakni langit bebas dari awan, debu, asap, kabut, atau segala sesuatu yang menghalangi pandangan pada malam ke-30 bulan Sya’ban, maka mereka tidak berpuasa; bahkan jika pada kenyataannya hilal telah muncul. Dalam keadaan ini, mereka tidak berpuasa, baik dengan alasan haram atau makruh, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Jangan mendahului Ramadan dengan puasa sehari atau dua hari, kecuali seseorang yang terbiasa berpuasa, maka hendaknya ia berpuasa.

Ucapan: ‘Dan jika tertutup oleh awan atau debu, maka menurut zahir mazhab wajib berpuasa,’ maksudnya adalah: Jika hilal terhalang untuk terlihat karena awan, sedangkan awan adalah kumpulan awan di langit.

Dan ucapannya: ‘atau debu’ merujuk pada debu yang terbawa oleh angin, begitu pula hal-hal lain yang menghalangi terlihatnya hilal.”

Dan ucapannya: ‘Maka zahir mazhab’, ungkapan ini dianggap aneh dari penulis karena itu bukan kebiasaannya, dan karena kitab ini adalah kitab ringkasan, maka mungkin ia mengungkapkannya demikian karena kuatnya perbedaan pendapat.

Dan ucapannya: ‘mazhab’, yang dimaksud di sini adalah mazhab secara istilah, bukan secara personal. Hal ini karena tidak ada teks dari Imam Ahmad yang menyatakan kewajiban puasa pada hari tersebut, berbeda dengan apa yang dikatakan oleh para pengikut mazhab.

Dan ucapannya: ‘Wajib berpuasa’, maksudnya adalah kewajiban yang bersifat dugaan (zhan) dan kehati-hatian (ihtiyath). Maka kewajiban di sini didasarkan pada kehati-hatian dan dugaan, bukan pada keyakinan dan kepastian; karena mungkin saja hilal telah muncul tetapi tidak terlihat, disebabkan oleh adanya awan, kabut, atau hal lainnya, dan juga mungkin saja bulan sabit memang belum muncul.”

[As-Syarhu Al-Mumthi’ ala Zadi Al-Mustaqni’, jilid 6, halaman 301]

Ditulis oleh: Yusuf Abdillah (santri TDNI angkatan ke-2)