Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Luqman Ba’abduh
Judul di atas merupakan cuplikan dari sebuah hadits nabawi yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dari shahabat Hudzaifah:
“Akan ada masa kenabian pada kalian selama yang Allah kehendaki, Allah mengangkat atau menghilangkannya kalau Allah menghendaki. Lalu akan ada masa khilafah di atas manhaj nubuwwah selama Allah kehendaki, kemudian Allah mengangkatnya jika Allah menghendaki. Lalu ada masa kerajaan yang sangat kuat selama yang Allah kehendaki, kemudian Allah mengangkatnya bila Allah menghendaki. Lalu akan ada masa kerajaan (tirani) selama yang Allah kehendaki, kemudian Allah mengangkatnya bila Allah menghendaki. Lalu akan ada lagi masa kekhilafahan di atas manhaj nubuwwah.“ Kemudian beliau diam.” (HR. Ahmad, 4/273, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 5)
Dalam hadits di atas sangat jelas bahwa khilafah di atas manhaj nubuwwah (jalan Nabi) merupakan suatu karunia Allah semata. Tak seorang muslim pun yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kecuali pasti dia akan mengharapkan terwujudnya khilafah tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tegas mengatakan bahwa hal itu pasti terjadi pada umat ini. Janji ini telah teralisasi pada masa generasi terbaik umat ini, dan Allah tetap menjanjikan kepada umat ini akan terwujudnya kembali khilafah tersebut di tengah-tengah mereka jika memang syarat-syaratnya telah dipenuhi, sebagaimana firman-Nya:
“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka dan Dia dia benar-benar akan menggantikan kondisi mereka setelah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap beribadah kepada-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Ku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasiq.” (QS. An-Nur: 55)
Barangsiapa yang ingin mengetahui bagaimana gambaran Khilafah ‘ala Manhajin Nubuwwah, maka hendaknya dia melihat pada daulah yang dipimpin oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Khulafa`ur Rasyidin sepeninggal beliau.
Secara ringkas gambarannya adalah: Sebuah khilafah yang didirikan di atas tauhid dan dakwah menuju kepada tauhid, ditegakkannya Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta dakwah menuju kepada As Sunnah. Diperanginya kesyirikan dengan berbagai macam bentuknya, sehingga tidak ada lagi peribadatan yang diberikan kepada selain Allah. Diperanginya segala bentuk bid’ah baik dalam akidah, ibadah, maupun muamalah. Ditegakkannya syariat Islam oleh setiap muslim sebelum ditegakkan oleh pemerintahnya. Kondisi masyarakatnya senantiasa mengutamakan dan mementingkan ilmu syar’i, jauh dari kungkungan filsafat dan pengagungan rasio. Masyarakatnya taat dan patuh kepada pemerintah serta menegakkan jihad syar’i bersama pemerintah. Merekalah generasi terbaik yang dipuji oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam haditsnya:
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian yang setelahnya, kemudian yang setelahnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu)
Itulah gambaran singkat Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah. Bukan seperti yang dikhayalkan oleh sebagian aktivis pergerakan Islam dan para pengikutnya. Tidak mungkin khilafah tersebut akan terwujud melalui tangan orang-orang yang berakidah Tashawwuf, Mu’tazilah, Qadariyah, dan sebagainya, sebagaimana hal ini didapati pada sebagian aktivis kelompok Al-Ikhwanul Muslimun dan Hizbut Tahrir.
Dan tidak mungkin pula khilafah tersebut akan tegak di tengah-tengah umat yang masih meremehkan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bergelimang dalam berbagai macam bid’ah baik dalam akidah, ibadah, dakwah, dan muamalah. Semoga Allah Subhanahu wa ta’ala melindungi dan membimbing umat ini pada jalan yang lurus.
Dari hadits Hudzaifah di atas, jelas bagi kita bahwa meskipun suatu negara atau pemerintah tidak berbentuk khilafah -baik itu berbentuk kerajaan, republik, parlementer atau yang lainnya- selama masih memenuhi kriteria dan definisi sebagai negara Islam, maka statusnya tetap sebagai negara Islam. Sehingga kewajiban mendengar dan taat tetap berlaku dan tidak boleh memberontak kepadanya, bahkan meskipun pemerintah yang zalim dan banyak memakan ‘uang rakyat’ sekalipun.
Pada kesempatan ini pula kami mengingatkan kepada pihak-pihak yang apriori dan pesimis serta berpandangan negatif terhadap Khilafah Islamiyyah, yang banyak dimunculkan oleh orang-orang yang telah menimba ilmu dari negeri Barat dan pola pikir mereka telah dipenuhi oleh cara-cara berpikir Yahudi dan Nashara serta kaum filosof.
Perbedaan Daulah Islamiyyah dan Daulah Kafirah
Di antara polemik yang sering muncul di tengah-tengah umat Islam dan telah menimbulkan banyak kekeliruan di dalam memahaminya, sehingga berujung pada sikap dan tindakan yang keliru, adalah pemahaman tentang definisi Daulah Islamiyyah dan Daulah Kafirah. Kapan sebuah negara dinyatakan sebagai Daulah Islamiyyah dan kapan dinyatakan sebagai Daulah Kafirah.
Telah dibahas dalam rubrik Manhaji (di majalah ini) bahwa tolok ukur suatu negara dinyatakan sebagai Daulah Islamiyyah atau Daulah Kafirah adalah kondisi penduduknya, bukan sistem hukum yang diterapkan dan bukan pula sistem keamanan yang mendominasi negeri tersebut, sebagaimana diterangkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. (Majmu’ Fatawa, 18/282)
Sebagian ulama menyebutkan bahwa Daulah Islamiyyah adalah: Sebuah daulah yang mayoritas penduduknya muslimin dan ditegakkan padanya syi’ar-syi’ar Islam seperti adzan, shalat berjamaah, shalat Jum’at, shalat ‘Id, dalam bentuk pelaksanaan yang bersifat umum dan menyeluruh. Dengan demikian, jika pelaksanaan syi’ar-syi’ar Islam itu diterapkan tidak dalam bentuk yang umum dan menyeluruh, namun hanya terbatas pada minoritas muslimin maka negeri tersebut tidak tergolong negeri Islam. Hal ini sebagaimana yang terjadi di beberapa negara di Eropa, Amerika, dan yang lainnya di mana syi’ar-syi’ar Islam dilakukan oleh segelintir muslimin yang jumlahnya minoritas. (lihat penjelasan ini dalam kitab Syarh Tsalatsatul Ushul oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah)
Sehingga dengan demikian, negeri seperti Indonesia ini adalah termasuk negeri Islam. Karena syi’ar-syi’ar Islam, baik shalat berjamaah, shalat Jumat, shalat ‘Id, dilaksanakan secara umum di negeri ini. Demikian juga, adzan senantiasa berkumandang setiap waktu shalat di masjid-masjid kaum muslimin.
Beranjak dari definisi dan pemahaman yang keliru tentang Daulah Islamiyyah dan Daulah Kafirah, banyak dari aktivis teroris (neo-Khawarij) menghukumi sekian negara-negara muslimin sebagai negara kafir.
Di antara mereka adalah:
# Muhammad Surur bin Nayef Zainal Abidin [1], ketika dia menggambarkan bahwa kekufuran itu bertingkat-tingkat, di mana dia berkata:
Peringkat Pertama: Pimpinan Amerika Serikat, George Bush, yang bisa jadi berikutnya adalah Clinton (waktu itu, red)
Peringkat Kedua: Penguasa-penguasa negeri Arab, di mana mereka (para penguasa Arab itu) berkeyakinan bahwa manfaat dan madharat mereka ada di tangan Bush. Sehingga atas dasar itu mereka pergi ‘berhaji’ menuju kepadanya (Bush) serta mempersembahkan nadzar dan kurban.
Peringkat Ketiga: Para kaki tangan pemerintah/penguasa Arab, baik para menteri dan wakil-wakil, pimpinan militer, dan….
Peringkat keempat, kelima, dan keenam: Para staf kementerian…. (ucapan ini dikutip dari Majallah As-Sunnah edisi XXVI th. 1413 H; hal. 2-3)
# Usamah bin Laden
Sebagaimana dimuat dalam koran Ar-Ra`yil ‘Am Al-Kuwaiti edisi 11-11-2001 M, Usamah bin Laden menjawab: “Hanya Afghanistan sajalah Daulah Islamiyyah itu. Adapun Pakistan dia memakai undang-undang Inggris. Dan saya tidak menganggap Saudi itu sebagai negara Islam…”
Jika para tokoh teroris tersebut telah menghukumi negara Arab, terkhusus Saudi Arabia sebagai negara kafir — padahal di Saudi Arabia telah diterapkan syi’ar-syi’ar Islam secara umum dan menyeluruh bahkan ditegakkan pula hukum-hukum had dan hukum Islam yang lainnya—maka apakah kiranya penilaian mereka terhadap negara seperti Indonesia ini?
Akibat dari keputusan tersebut di atas (pengkafiran terhadap negara-negara Islam) melahirkan keputusan berikutnya, yaitu: kewajiban memerangi negara-negara tersebut (yang telah dihukumi kafir).
Kita berdoa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala semoga memberikan taufiq dan hidayah-Nya kepada kaum muslimin untuk kembali kepada jalan pemahaman yang lurus, yaitu pemahaman as-salafush shalih, generasi terbaik umat ini.
Dengan Apa Khilafah Islamiyyah bisa Terwujud?
Daulah Islamiyyah, atau yang terkadang diistilahkan dengan Khilafah Islamiyyah, yang ditegakkan padanya tauhid dan peribadahan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala semata, dihidupkan padanya Sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta diaplikasikannya seluruh syi’ar dan hukum Islam, adalah dambaan bagi setiap muslim yang beriman kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan hari akhir. Namun sebuah pertanyaan besar yang harus diajukan dalam kondisi ini adalah: Bagaimana dan dengan apa Daulah Islamiyyah tersebut bisa ada dan bersemi di bumi Allah Subhanahu wa ta’ala ini?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka sebelumnya kita semua harus tahu dan ingat bahwa generasi awal umat ini yang diperankan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya telah berhasil -dengan izin Allah- menggapai Daulah Islamiyyah tersebut. Maka tentunya, setiap muslim yang berharap terwujudnya Khilafah Islamiyyah di bumi Allah Subhanahu wa ta’ala ini, akan menjadikan jejak langkah generasi yang telah berhasil itu sebagai contoh dan suri teladan baginya dalam usaha mewujudkan Daulah Islamiyyah.
Suatu perkara yang mustahil, hal itu akan terwujud tanpa meneladani jejak langkah generasi yang telah berhasil. Sebagaimana ditegaskan oleh Al-Imam Malik rahimahullah:
“Tidak akan menjadi baik (stabil) generasi akhir umat ini kecuali dengan perkara-perkara yang dengannya telah menjadi baik (stabil) generasi awal umat ini.”
Atas dasar itulah kami mengajak semua pihak, yang mengklaim dirinya berharap terwujudnya Daulah Islamiyyah, untuk dengan jujur, sportif, dan sungguh-sungguh menengok dan merujuk kepada jejak langkah generasi terbaik umat ini. Dengan meninggalkan segala bentuk ra`yu, pikiran, dan cara yang sama sekali tidak dilandasi oleh jejak langkah generasi awal umat ini, karena hal itu tidak lain hanya akan mendatangkan kehancuran.
Segala bentuk kebaikan didapati pada sikap ittiba’ (mengikuti) jejak (generasi) Salaf. Dan segala bentuk kejahatan didapati pada tindakan ibtida’ (mengada-ada) oleh generasi belakangan.
Untuk itu, ada beberapa hal penting yang menjadi sebab utama bagi terwujudnya Khilafah Islamiyyah yang didamba-dambakan itu. Apabila sebab-sebab utama ini diabaikan oleh kaum muslimin maka pupuslah harapan tersebut dan mustahil dambaan tersebut akan bisa terwujud.
Sebab-sebab itu antara lain:
1. Kembalinya umat Islam secara menyeluruh kepada bimbingan Al Qur`an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan apa yang telah difahami dan diamalkan oleh Salaful Ummah. Sehingga dengan itu mereka selamat dari berbagai macam bentuk bid’ah dan kesesatan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
2. Syarat yang kedua untuk terwujudnya Khilafah Islamiyyah bagi kaum muslimin adalah: Terealisasinya keimanan yang murni dan benar dalam semua perkara yang telah Allah wajibkan untuk kita imani secara kaffah (menyeluruh).
Dalam bait syair tersebut dia (Musthafa) ber-istighatsah kepada Nabi, memanggilnya, dan mengeluhkan penyakitnya kepada beliau. Jelas-jelas ini merupakan syirik besar yang bisa mengancam pelakunya keluar dari Islam.
3. Merealisasikan dakwah tauhid dan pembenahan akhlak umat. Sebagaimana telah dicontohkan oleh para nabi, yang mana itu merupakan misi utama dakwah mereka. Sebagaimana firman Allah:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Sesungguhnya telah Kami utus pada tiap-tiap umat seorang rasul (dengan tugas menyeru) beribadahlah kalian kepada Allah (saja) dan jauhilah oleh kalian thagut.” (An-Nahl: 36)
“Tidaklah Kami utus sebelummu seorang rasul-pun kecuali pasti kami wahyukan kepadanya: Sesungguhnya tidak ada yang berhak untuk diibadahi kecuali Aku, maka beribadahlah kalian semuanya (hanya) kepada Ku.” (Al-Anbiya`: 25)
4. Kesungguhan di dalam menuntut ilmu Dinul Islam dari sumbernya yang asli dan referensinya yang terjamin, yaitu para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Dengan ilmu itulah seorang muslim dapat memahami dan mengenal agama sesuai dengan yang diinginkan oleh Allah.
Ini semua merupakan sumber kegagalan dan kehancuran umat ini. Hal ini sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu anhu yang telah lalu. Dan juga sabdanya:
“Hampir-hampir umat-umat (di luar kalian) mengerumuni kalian sebagaimana orang-orang makan mengerumuni piring hidangannya.” Ada yang bertanya kepada beliau: “Apakah disebabkan karena jumlah kita sedikit pada saat itu?” Rasulullah menjawab: “Bahkan kalian pada hari itu jumlahnya banyak, akan tetapi kalian hanyalah seperti buih yang dibawa air bah (banjir) dan sungguh Allah akan mencabut dari dada musuh-musuh kalian rasa segan (takut) terhadap kalian. Dan Allah akan melemparkan pada hati kalian Al-Wahn.” Seseorang bertanya lagi: “Wahai Rasulullah, apakah Al-Wahn itu?” Beliau menjawab: “Cinta dunia dan takut mati.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud; dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di Ash-Shahihah no. 958)
Wallahu a’lam bish-shawab.
Sumber: Majalah Asy-Syari’ah