Bab tentang Adab Bertamu (Adab dalam Perjamuan)
Di antara adab dalam perjamuan adalah seseorang hendaknya mengundang orang-orang yang bertakwa, bukan orang-orang fasik. Sebagian ulama salaf berkata: “Janganlah engkau makan kecuali makanan orang yang bertakwa, dan janganlah makan makananmu kecuali orang yang bertakwa.”
Hendaknya ia lebih mengutamakan mengundang orang-orang miskin dibandingkan orang-orang kaya. Selain itu, ia tidak boleh mengabaikan kerabatnya dalam perjamuan, karena mengabaikan mereka dapat menyebabkan keterasingan dan memutuskan tali silaturahmi. Demikian juga, hendaknya ia memperhatikan urutan dalam mengundang teman-teman dan orang-orang yang dikenalnya. Janganlah tujuannya mengundang hanya untuk pamer dan berbangga-bangga, tetapi hendaknya ia mengikuti sunnah dalam memberi makanan, menarik hati saudara-saudaranya, serta menumbuhkan kegembiraan di hati orang-orang beriman. Jangan pula ia mengundang orang yang diketahui akan merasa kesulitan untuk memenuhi undangan tersebut atau yang akan merasa terganggu oleh kehadiran orang lain karena suatu alasan.
Adapun adab dalam memenuhi undangan, jika itu adalah undangan pernikahan (walimah), maka menghadirinya hukumnya wajib jika diundang oleh seorang Muslim pada hari pertama. Jika undangan itu bukan untuk pernikahan, maka hukumnya boleh (tidak wajib). Hendaknya ia tidak hanya memenuhi undangan orang kaya saja, tetapi juga undangan orang miskin. Jangan pula menolak undangan hanya karena sedang berpuasa. Tapi justru hadir dan jika puasanya adalah puasa sunnah dan ia tahu bahwa berbuka akan menyenangkan saudaranya sesama Muslim, maka hendaknya ia berbuka.
Namun, jika makanan yang disajikan haram, maka ia harus menolak undangan tersebut. Begitu pula jika di tempat tersebut terdapat perabotan haram, wadah-wadah terlarang, alat musik, atau gambar (yang diharamkan). Jika yang mengundang adalah orang zalim, fasik, ahli bid’ah, atau orang yang mengundang hanya untuk pamer, maka lebih baik tidak menghadirinya.
Hendaknya ia tidak menghadiri undangan semata-mata untuk makan, tetapi ia berniat mengikuti sunnah, memuliakan saudaranya yang beriman, dan menjaga dirinya dari prasangka buruk orang lain. Sebab, jika ia menolak tanpa alasan yang jelas, mungkin akan dikatakan tentang dirinya: “Orang ini sombong.”
Hendaknya ia bersikap rendah hati ketika duduk dalam majelis, tidak menempatkan dirinya di posisi utama. Jika tuan rumah telah menetapkan tempat duduk untuknya, maka ia tidak boleh berpindah dari tempat itu. Ia juga tidak boleh terlalu sering melihat ke arah tempat makanan disajikan, karena hal itu merupakan tanda kerakusan.
[Dinukil dari kitab Mukhtasor Minhajul Qosidin hal. 73-74]
Ditulis oleh: Hanif Ubadah (santri TDNI angkatan ke-2)