HUKUM MENUTUP WAJAH DARI PRIA AJNABI (NON MAHRAM ) BAGI WANITA

oleh -101 Dilihat
oleh

Dari Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, kepada siapa pun dari saudara-saudaraku kaum Muslimin yang melihat dan membaca tulisan ini. Semoga Allah membimbingku dan kalian untuk melakukan ketaatan dan menjauhkan kami dari bid’ah dan kemungkaran. Salam sejahtera dan rahmat Allah untukmu.
“Maka termasuk dari kewajiban nasihat dan pengingat adalah bahwa aku mengingatkan (atau menyinggung) suatu perkara yang tidak pantas (atau tidak seharusnya) untuk di diamkan, bahkan harus dihindari dan dijauhi, dan masalah itu adalah ikhtilat (campur baur) yang terjadi pada sebagian orang yang tidak tahu di beberapa tempat dan desa, di mana mereka bercampur dengan bukan mahram (orang yang boleh dinikahi),mereka menganggap hal tersebut tidak apa-apa (tanpa merasa bersalah),-alasan mereka adalah- bahwasannya ini sudah menjadi kebiasaan nenek moyang mereka dan niat mereka baik. Misalnya, seorang wanita duduk bersama saudara iparnya (saudara laki-laki suami), atau suami dari saudara perempuannya, atau dengan sepupu laki-lakinya, dan kerabat serupa, tanpa mengenakan hijab dan tanpa peduli.
Padahal, sudah diketahui bahwa berhijabnya wanita muslimah dan menutupi wajahnya dari laki-laki asing (bukan mahram) adalah wajib, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Al-Quran, Sunah, dan ijma’ (konsensus) ulama salaf. Allah berfirman,
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Dan katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya.”)
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ
“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.”)
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”)
Dan Al-Jilbaab (Jilbab) adalah pakaian luar di atas khimar (kerudung) seperti abaya. Ummu Salamah radhiyallahu anha berkata, “Ketika ayat ini turun, wanita Anshar keluar seolah-olah di kepala mereka ada gagak karena ketenangan, dan mereka mengenakan kain hitam.”
Ayat-ayat mulia ini secara jelas menunjukkan bahwa kepala, rambut, leher, dada, dan wajah wanita adalah bagian yang wajib ditutup dari setiap laki-laki yang bukan mahramnya, dan menyingkapnya di hadapan bukan mahram adalah haram.
Dan diantara dalil dari sunah, “Bahwasanya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam ketika memerintahkan wanita untuk keluar ke mushalla (tempat shalat) Id, mereka berkata, ‘Wahai Rasulullah, salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab.’ Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Hendaklah saudaranya memakaikan -meminjamkan- jilbabnya kepadanya.'” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini menunjukkan bahwa sudah menjadi kebiasaan wanita sahabat untuk tidak keluar kecuali dengan jilbab. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengizinkan mereka keluar tanpa jilbab.
Dan telah tetap -ada- dalam Shahihain dari Aisyah radhiyallahu anha, dia berkata, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam salat Subuh, dan bersamanya ada wanita-wanita yang berselimut dengan kain mereka. Kemudian mereka kembali ke rumah-rumah mereka tanpa dikenali oleh siapapun karena masih gelap.” Dia –‘Aisyah- juga berkata, “Jika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam melihat wanita-wanita seperti yang kami lihat, niscaya beliau akan melarang mereka ke masjid sebagaimana Bani Israil melarang wanita-wanita mereka.” Hadis ini menunjukkan bahwa hijab dan menutup aurat adalah kebiasaan wanita ahabat, yang mana mereka merupakan generasi terbaik dan paling mulia di sisi Allah, paling tinggi akhlak dan adabnya, paling sempurna imannya, dan paling baik amalnya. Mereka adalah teladan yang baik bagi selain mereka.
Dari Aisyah radhiyallahu anha, dia berkata, “Dahulu para pengendara (unta) melewati kami ketika kami sedang berihram bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Jika mereka sejajar dengan kami, salah seorang dari kami akan menurunkan jilbabnya ke wajahnya dari kepalanya. Jika mereka sudah melewati kami, kami menyingkapnya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah). Dan pada perkataannya –‘Aisyah- “Jika mereka sejajar dengan kami” (maksudnya para pengendara), “salah seorang dari kami menurunkan jilbabnya ke wajahnya” adalah bukti wajibnya menutup wajah. Sebab, yang dianjurkan dalam ihram adalah menyingkap wajah. Seandainya tidak ada penghalang kuat untuk menyingkapnya saat itu, niscaya tetap wajib untuk menyingkapnya.
Jika kita melihat pada menyingkapnya wajah Wanita di hadapan laki-laki asing, kita akan menemukan bahwa hal itu mengandung banyak kerusakan, di antaranya adalah fitnah yang timbul dari tampak, tersingkapnya wajah, dan ini adalah pendorong terbesar ke arah kejahatan dan kerusakan. Di antaranya juga hilangnya rasa malu pada wanita dan timbulnya fitnah pada laki-laki karenanya.
Dengan demikian, jelaslah bahwa haram bagi wanita menyingkap wajahnya di hadapan laki-laki asing. Haram pula baginya menyingkap dada, leher, lengan, betis, dan bagian tubuh lainnya di hadapan laki-laki asing. Demikian pula, haram baginya berduaan (khalwat) dengan laki-laki yang bukan mahramnya, dan juga haram bercampur baur dengan bukan mahram tanpa menutup aurat. Jika wanita melihat dirinya merasa setara dengan laki-laki dalam hal menyingkap wajah dan berjalan tanpa hijab, maka tidak akan ada rasa malu atau canggung darinya untuk bercampur dengan laki-laki, dan di dalamnya terdapat fitnah besar dan kerusakan yang parah.
Dan sungguh suatu hari, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari masjid, dan para wanita bercampur dengan laki-laki di jalan. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mundurlah, karena kalian tidak berhak memenuhi jalan. Wajib dan harus bagi kalian untuk menggunakan tepi jalan.” Maka, para Wanita -setelah itu langsung- menempel ke tembok-tembok sampai kadang bajunya tersangkut karena terlalu menempel. Ini disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengenai firman Allah:
{وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ}
Jadi, haram bagi wanita menyingkap wajahnya di hadapan bukan mahram, bahkan wajib baginya menutupnya. Haram pula baginya khalwat dengan mereka, bercampur baur dengan mereka, atau berjabat tangan (bersalaman) dengan laki-laki yang bukan mahramnya. Allah juga menjelaskan siapa saja yang boleh melihat perhiasan wanita dalam firman-Nya:
{وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ}
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”)
Adapun saudara laki-laki suami (ipar), suami dari saudara perempuan, sepupu laki-laki (anak paman), anak paman dari ibu, dan sejenisnya, mereka bukan mahram. Mereka tidak boleh melihat wajah wanita, dan wanita tidak boleh menyingkap jilbabnya di hadapan mereka, karena hal itu dapat menimbulkan fitnah.
Dari Uqbah bin Amir radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hati-hatilah kalian -Jauhilah- dari masuk ke tempat wanita (yang bukan mahram).” Seorang laki-laki Anshar bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan ipar laki-laki (al-hamwu)?” Beliau menjawab, “Ipar laki-laki itu adalah kematian.” (HR. Bukhari dan Muslim). Yang dimaksud dengan “al-hamwu” adalah saudara laki-laki suami, paman suami, dan sejenisnya. Ini karena mereka dapat masuk rumah tanpa dicurigai, tetapi mereka bukan mahram hanya karena hubungan kekerabatan dengan suami. Oleh karena itu, wanita tidak boleh menyingkap perhiasannya di hadapan mereka, meskipun mereka adalah orang saleh dan terpercaya. Sebab, Allah hanya membatasi kebolehan menampakkan perhiasan kepada orang-orang yang disebutkan dalam ayat sebelumnya, dan saudara laki-laki suami, paman suami, atau sepupu suami, dan sejenisnya tidak termasuk di antara mereka, dan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda dalam hadis Muttafaqun Alaih, “Tidaklah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita kecuali bersama mahramnya.” Yang dimaksud dengan “mahram” adalah orang yang haram dinikahi selamanya karena hubungan nasab, perkawinan, atau persusuan, seperti ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman, dan orang-orang yang serupa dengan mereka.
Hanya saja Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam melarang hal itu agar setan tidak mengendurkan kendali godaan bagi mereka, berjalan di antara mereka dengan kerusakan, membisikkan dan memperindah kemaksiatan bagi mereka. Telah tetap dari beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, “Tidaklah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita, melainkan setan adalah yang ketiga di antara mereka.” (HR. Imam Ahmad dengan sanad yang sahih dari Umar bin Khattab radhiyallahu anhu).
Bagi siapa saja yang memiliki kebiasaan di negaranya yang berbeda dengan ini, dengan alasan itu adalah kebiasaan keluarga atau penduduknya, maka mereka wajib berusaha untuk menghilangkan kebiasaan ini, dan bekerja sama dalam memberantasnya serta melepaskan diri dari kejahatannya. Ini demi menjaga kehormatan, bekerja sama dalam kebaikan dan ketakwaan, serta melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya. Mereka juga harus bertaubat kepada Allah atas apa yang telah berlalu, dan bersungguh-sungguh dalam amar ma’ruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran), serta istiqamah di atasnya. Jangan biarkan celaan orang menciutkan niat mereka dalam membela kebenaran dan membatalkan kebatilan, dan jangan biarkan ejekan atau cemoohan sebagian orang menghalangi mereka. Karena kewajiban seorang muslim adalah mengikuti syariat Allah dengan rida, sukarela, mengharapkan apa yang ada di sisi Allah, dan takut akan hukuman-Nya, meskipun orang terdekat dan terkasih menentangnya. Tidak boleh mengikuti hawa nafsu dan kebiasaan yang tidak disyariatkan oleh Allah. Karena Islam adalah agama kebenaran, petunjuk, dan keadilan dalam segala hal, dan di dalamnya terdapat seruan kepada akhlak mulia dan perbuatan baik, serta larangan atas apa yang menyalahinya.
Semoga Allah mengaruniakan kita dan seluruh muslimin apa yang diridai-Nya, dan melindungi kita semua dari kejahatan diri kita dan keburukan amal perbuatan kita. Sesungguhnya Dia Maha Dermawan lagi Maha Mulia. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan para sahabatnya.”
Salam sejahtera dan rahmat Allah untukmu.
Sumber : Majmu’ Fataawa Wa Maqaalat Mutanawwi’ah, Ibnu Baz (juz 5, halaman 36-240).

No More Posts Available.

No more pages to load.