Ji’alah adalah keharusan memberikan upah tertentu atas suatu pekerjaan tertentu tanpa memandang siapa yang mengerjakannya.
Contohnya adalah seseorang mengatakan, “Barang siapa menemukan mobilku yang hilang, ia akan mendapatkan uang sebanyak 10 juta rupiah.”
Ji’alah termasuk akad yang dibolehkan secara syariat dan ditunjukkan oleh firman-Nya,
ﵟوَلِمَن جَآءَ بِهِۦ حِمۡلُ بَعِيرٖ وَأَنَا۠ بِهِۦ زَعِيمٞ ٧٢ ﵞ
“Siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjadi penjamin terhadapnya.” (QS. Yusuf: 72)
Dari Abu Sa’id al-Khudri bahwasanya sejumlah sahabat Nabi melewati sebuah perkampungan Arab. Mereka meminta dijamu sebagai tamu, tetapi warga kampung itu tidak mau.
Kemudian, kepala kampung mereka terkena sengatan binatang berbisa. Warga kampung bertanya kepada para sahabat itu, “Apakah ada di antara kalian yang bisa meruqyah?”
Para sahabat menjawab, “Ya, tetapi kami tidak akan meruqyahnya kecuali jika kalian memberikan upah kepada kami.”
Warga kampung setuju untuk memberikan upah berupa beberapa ekor kambing. Salah seorang sahabat Nabi pun membacakan surat al-Fatihah lalu kepala kampung sembuh. Setelah itu, warga kampung membawakan beberapa ekor kambing.
Akan tetapi, para sahabat mengatakan, “Kami tidak akan mengambilnya hingga bertanya kepada Rasulullah.”
Ketika kembali, mereka bertanya kepada Rasulullah dan beliau bersabda, “Ambillah dari mereka dan berilah aku satu bagian.”[1]
(Al-Fiqhul Muyassar, hal.498-499)
[1] Muttafaq ‘alaihi: HR. Al-Bukhori no. 2276 dan Muslim no. 2201